Belum sempat mengendarai sepeda, pintu rumah dibuka dari luar, "Cinta, ada yang ketinggalan...."
(Selengkapnya, baca: "Gempa & Tsunami Jepang, 11 Maret 2011, bagian 1: The Beginning)
Tak lama setelah Papa membuka pintu rumah, bumi bergoyang. Kami saling menatap selama beberapa saat, seakan mata kami bercakap-cakap dalam hening kata-kata. Kami menunggu, menunggu bumi berhenti bergerak. Gempa bukanlah hal yang jarang ditemukan di Bumi Sakura ini, hampir jadi sarapan rutin bulanan kami, karenanya, kami menunggu gempa itu berhenti sambil saling bertatap. Lama kami menunggu, bukannya melemah, gempa itu malah semakin kuat. Tanpa sadar, saya sudah memeluk Bilal, berjaga-jaga seandainya kami harus mengungsi keluar rumah.
"Cinta, ayo keluar, bawa selimut dan jaket Bilal." Seru Papa tanpa menyembunyikan kekhawatirannya.
Untung saja saya belum sempat berganti pakaian, bahkan jaket musim dingin masih melekat di tubuh saya. Bilal pun baru melepaskan jaketnya saja, belum berganti baju rumah, jadi segera saja saya gendong Bilal, saya sambar jaket dan sepatu Bilal, saya kenakan sepatu saya, lalu keluar rumah, menunggu bumi berhenti bergoyang. 2 menit, 3 menit, bumi masih terus bergoyang. Tetangga pun mulai keluar rumah. Kakek-kakek sebelah, ibu muda yang memeluk bayinya, seorang Ibu yang tadinya bersepeda pun menghentikan sepedanya, berhenti menunggu gempa berhenti. Namun bukannya berhenti, gempa malah semakin kuat.
Bahkan kakek sebelah rumah saya berkata, "ini gempa terkuat yang pernah saya alami," padahal dia orang Jepang, dan sudah cukup berumur.
Gempa sedikit mereda, papa kembali ke dalam rumah sebentar, mengambil "tas bencana" yang telah dipersiapkannya sejak lama. Bilal saya gendong sambil duduk, mengingat kandungan yang semakin besar. Alhamdulillah, bukannya takut, Bilal malah ikut heboh, "empa, empa", katanya.
Saat gempa susulan yang masih berkekuatan besar tiba, Papa sudah bersama kami di pinggir jalan.
"Sebaiknya jangan berada di dekat bangunan," kata sang kakek
"Apa kita ke taman tempat pengungsian itu saja?" Tanya Papa.
"Tidak usah terlalu panik dulu," jawab sang kakek.
Alhamdulillah gempa susulan yang cukup besar pun berhenti. Setelah itu beberapa gempa susulan berkekuatan lebih kecil masih sering muncul, maka kami belum melepaskan kewaspadaan. Setelah mengenyangkan perut, kami berangkat ke taman yang ditunjuk sebagai tempat pengungsian sementara seandainya perlu mengungsi. Sampai disana ternyata cukup banyak orang yang mengungsi, padahal suhu diluar saat itu termasuk rendah.
Tiba-tiba, dari speaker taman, ada pengumuman bahwa pukul 16.30 JST nanti akan ada tsunami, jadi pemerintah menghimbau masyarakat agar tidak berada di dekat pantai, karena kebetulan beberapa km dari tempat itu ada sungai yang cukup besar. Kami putuskan agar menunggu hinggal pukul 16.30 lewat, baru kembali ke rumah. Sambil menunggu, Bilal bermain di taman, disertai gempa-gempa susulan yang belum juga berhenti. Suhu saat itu sangat rendah, jadi tak lama, saya mengajak Papa untuk segera pulang, apalagi hujan mulai turun.
Sampai di rumah, TV langsung kami nyalakan. Benar saja, berita di TV langsung dipenuhi topik gempa kuat yang tadi baru saja terjadi. Ternyata di daerah lain dekat pusat gempa, terjadi tsunami yang cukup tinggi.
Kami langsung mencoba menghubungi keluarga di Indonesia, mengabarkan bahwa kami baik-baik saja, agar keluarga tidak khawatir, apalagi saat itu di Indonesia keluarga Papa mungkin sedang ke pemakaman yangkung yang meninggal kamis malam. Saat itu saluran telepon sedang sulit dipakai, mungkin semua orang berpikir yang sama dengan kami, sehingga saluran telepon penuh. Saya coba berkali-kali menghubungi adik saya, alhamdulillah sempat tersambung satu atau dua kali.
Malam itu kami pindahkan futon ke depan TV, kami tidur disana. Kami tak berani mematikan TV, entah akibat trauma gempa atau sekedar ingin mendapatkan berita terbaru. Bahkan kami tidur dengan pakaian siap mengungsi, lengkap dengan kaos kaki dan jilbab untuk saya.
Saat itu saya belum tahu, ada satu lagi kejadian besar yang sedang berlangsung di Jepang bagian utara...