Addicted.
Ya, mungkin itu satu kata yang cukup menggambarkan perasaan saya sekarang, setelah membaca novel ini. Novel ini sendiri mungkin tidak sehebat itu sehingga bisa membius saya untuk sampai kecanduan dan ingin segera membaca novel bahasa inggris yang lain. Lihat kata-kata yang saya garis bawahi dalam kalimat saya diatas? ya, novel bahasa inggris yang lain.
Seperti sudah tahunan rasanya saya melupakan perasaan itu, perasaan tenggelam dalam dunia yang ada dalam sebuah buku. Dulu saat masih kuliah, saya suka baca novel. Bahkan Taiko karya Eiji Yoshikawa terjemahan bahasa Indonesia yang tebal dan beratnya mungkin cukup untuk membuat copet benjol kalau kena timpuk, bisa saya selesaikan dalam waktu yang cepat (hiks, sekarang bukunya dimana yah..adakah yang merasa pinjam??). Tetapi sejak menikah dan tinggal di negeri berbahasa Jepang ini, saya seperti lupa nikmatnya menjadi bagian dalam sebuah cerita di sebuah buku. Bukan, bukan karena saya sibuk mengurus anak atau suami. Suami saya tidak gendut, dan anak saya termasuk kurus, jadi untuk apa dikurusi? Ehehe, bukan itu maksudnya. Kewajiban sebagai seorang istri dan ibu insya Allah bisa dijalankan bersamaan dengan melaksanakan hobi, apalagi hobi membaca buku. Tetapi entah kenapa, kesibukan yang nggak jelas bentuknya membuat saya jauh dari buku. Pernah beberapa kali saya menamatkan beberapa buku bahasa Jepang disini, tapi tetap saja, hanya sekedar buku ringan, bukan novel, karena saya "takut" tidak bisa mengerti kanjinya dengan benar.
Sudah, cukup intronya, sekarang lanjut ke resensi buku ^_~
Awalnya saat membaca judul dari buku ini, saya merasa ceritanya agak sedikit depresif, seperti A Child Called It karya Dave Pelzer. Kedua buku ini mungkin sama-sama diangkat dari sebuah kisah nyata seorang abused child oleh keluarganya sendiri. Tetapi, berbeda dengan A Child Called It yang banyak menceritakan bagaimana sang anak disalahgunakan (saya tidak bisa menemukan terjemahan yang lebih tepat untuk "abused") oleh orang tuanya, bagaimana penyiksaan orang tua kepada sang anak, Mummy Told Me Not To Tell lebih bercerita dari sudut pandang seorang foster carer, seorang pengasuh anak sementara dalam waktu yang ditentukan.
Cathy Glass telah menjadi seorang foster carer selama lebih dari 20 tahun. Cathy telah mengasuh berbagai macam anak dengan berbagai macam latar belakang dan keluarga, karena itu dia adalah seorang profesional dalam bidangnya. Maka mungkin hal ini yang membuatnya dipilih untuk mengasuh Reece (7th), seorang anak dengan latar belakang yang kelam, dan keluarga yang cukup bermasalah, oleh agennya. Sebagai seorang carer yang berpengalaman, Cathy mengerti bahwa setiap anak spesial, dan menerima mereka apa adanya. Adalah keluarga dan lingkungan yang membentuk pribadi anak, meskipun setiap anak mempunyai sifat bawaan masing-masing. Cathy merawat dan mendidik anak-anak yang dipercayakan padanya dengan kasih sayang dan kedisiplinan yang konsisten. Begitu juga terhadap Reece. Reece yang awalnya agak 'bermasalah', perlahan-lahan menjadi 'terarah' dalam asuhan Cathy.
Perkembangan yang terjadi pada diri Reece, latar belakang keluarganya, penerimaan lingkungan (sekolah) terhadap Reece, serta akhir dari pengasuhan Cathy terhadap Reece diceritakan buku ini dengan bahasa yang mudah. Saya pernah menemukan novel berbahasa inggris yang lebih sulit dari ini (dan belum saya selesaikan sampai sekarang!! ehehehe, ketinggalan di Indonesia soalnya..). Tidak hanya alur cerita yang saya dapat dari buku ini, tapi juga pelajaran mendidik anak dari seorang pengasuh yang berpengalaman.
Buruan selanjutnya: Damaged, masih karya Cathy Glass ^_^ (kemarin ada juga di Kinokuniya, tapi karena takut nggak kebaca kalau beli kebanyakan, jadi belinya satu-satu..)
Buruan selanjutnya: Damaged, masih karya Cathy Glass ^_^ (kemarin ada juga di Kinokuniya, tapi karena takut nggak kebaca kalau beli kebanyakan, jadi belinya satu-satu..)
0 Comments:
Post a Comment