* Hanba-gu Tahu.
Ceritanya mau masak itu, tapi entah kenapa sampai sekarang masih agak males berangkat ke dapur. Dingiiiin (padahal tadi siang anget T_T).
Yosh, ayo masaaaakk..!! secara udah dapet bocorannya juga dari cookpad. Mau tau resepnya? nanti dulu yah, saya coba dulu di dapur Shioyaki..^_^
Maaf, tiba-tiba saya tidak bersemangat menulis resepnya, jadi nggak jadi saya share yah..v_v
Wednesday, March 30, 2011
うそ?ほんとう?
(Uso/False? Hontou/True?)
Makan yang gosong-gosong bisa menyebabkan kanker?
うそ?ほんとう?
Baca di tempat yang gelap bisa merusak mata?
Berhubung yang tadi minta dimandiin udah tidur siang, jadi, mari kita lanjutkan pembahasan postingan ini..(berasa banyak nyang nungguin ajah..=P)
Makan yang gosong-gosong bisa menyebabkan kanker.....jawaban anda? True? False?
Yep, anda benar, It's True !!
Tapi, itu benar secara teori. Sedangkan praktiknya, sepertinya belum ada yang benar-benar meneliti tentang hal ini.
Baca di tempat yang gelap bisa merusak mata?.....jawaban anda? True? False?
Sayang sekali, kali ini anda salah, It's not true !!
Menurut para ahli, belum ditemukan hubungan antara membaca di tempat yang gelap dengan mata yang rusak, bahkan katanya rumor ini tidak benar. Tapi, kata dokter yang menjawab, meskipun tidak merusak mata, membaca di tempat yang gelap tidak dianjurkan untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Sebenarnya masih banyak pembetulan dari rumor2 yang beredar di acara yang saya tonton, tapi saya lupa euy..ingetnya sepotong2 aja..ga enak kan kalau ngasih info setengah2..nanti takutnya cuma jadi gosip..^_^;
Sumber : TV, dibahas langsung oleh para ahlinya.
Hmm, mungkin satu hal yang akan saya rindukan kalau saya pindah dari Jepang for good adalah acara-acara pendidikan yang bertebaran di TV sini. Yah, semoga suatu saat nanti banyak acara TV yang mendidik di Indonesia, biar nggak melulu sinetron sinis atau gosip nggak penting yang bertebaran di TV Indonesia..
Tuesday, March 29, 2011
Gempa & Tsunami Jepang, 11 Maret 2011, bagian 2: Gempa Terbesar Sepanjang Hidup Saya (sampai saat ini)
Belum sempat mengendarai sepeda, pintu rumah dibuka dari luar, "Cinta, ada yang ketinggalan...."
(Selengkapnya, baca: "Gempa & Tsunami Jepang, 11 Maret 2011, bagian 1: The Beginning)
Tak lama setelah Papa membuka pintu rumah, bumi bergoyang. Kami saling menatap selama beberapa saat, seakan mata kami bercakap-cakap dalam hening kata-kata. Kami menunggu, menunggu bumi berhenti bergerak. Gempa bukanlah hal yang jarang ditemukan di Bumi Sakura ini, hampir jadi sarapan rutin bulanan kami, karenanya, kami menunggu gempa itu berhenti sambil saling bertatap. Lama kami menunggu, bukannya melemah, gempa itu malah semakin kuat. Tanpa sadar, saya sudah memeluk Bilal, berjaga-jaga seandainya kami harus mengungsi keluar rumah.
"Cinta, ayo keluar, bawa selimut dan jaket Bilal." Seru Papa tanpa menyembunyikan kekhawatirannya.
Untung saja saya belum sempat berganti pakaian, bahkan jaket musim dingin masih melekat di tubuh saya. Bilal pun baru melepaskan jaketnya saja, belum berganti baju rumah, jadi segera saja saya gendong Bilal, saya sambar jaket dan sepatu Bilal, saya kenakan sepatu saya, lalu keluar rumah, menunggu bumi berhenti bergoyang. 2 menit, 3 menit, bumi masih terus bergoyang. Tetangga pun mulai keluar rumah. Kakek-kakek sebelah, ibu muda yang memeluk bayinya, seorang Ibu yang tadinya bersepeda pun menghentikan sepedanya, berhenti menunggu gempa berhenti. Namun bukannya berhenti, gempa malah semakin kuat.
Bahkan kakek sebelah rumah saya berkata, "ini gempa terkuat yang pernah saya alami," padahal dia orang Jepang, dan sudah cukup berumur.
Gempa sedikit mereda, papa kembali ke dalam rumah sebentar, mengambil "tas bencana" yang telah dipersiapkannya sejak lama. Bilal saya gendong sambil duduk, mengingat kandungan yang semakin besar. Alhamdulillah, bukannya takut, Bilal malah ikut heboh, "empa, empa", katanya.
Saat gempa susulan yang masih berkekuatan besar tiba, Papa sudah bersama kami di pinggir jalan.
"Sebaiknya jangan berada di dekat bangunan," kata sang kakek
"Apa kita ke taman tempat pengungsian itu saja?" Tanya Papa.
"Tidak usah terlalu panik dulu," jawab sang kakek.
Alhamdulillah gempa susulan yang cukup besar pun berhenti. Setelah itu beberapa gempa susulan berkekuatan lebih kecil masih sering muncul, maka kami belum melepaskan kewaspadaan. Setelah mengenyangkan perut, kami berangkat ke taman yang ditunjuk sebagai tempat pengungsian sementara seandainya perlu mengungsi. Sampai disana ternyata cukup banyak orang yang mengungsi, padahal suhu diluar saat itu termasuk rendah.
Tiba-tiba, dari speaker taman, ada pengumuman bahwa pukul 16.30 JST nanti akan ada tsunami, jadi pemerintah menghimbau masyarakat agar tidak berada di dekat pantai, karena kebetulan beberapa km dari tempat itu ada sungai yang cukup besar. Kami putuskan agar menunggu hinggal pukul 16.30 lewat, baru kembali ke rumah. Sambil menunggu, Bilal bermain di taman, disertai gempa-gempa susulan yang belum juga berhenti. Suhu saat itu sangat rendah, jadi tak lama, saya mengajak Papa untuk segera pulang, apalagi hujan mulai turun.
Sampai di rumah, TV langsung kami nyalakan. Benar saja, berita di TV langsung dipenuhi topik gempa kuat yang tadi baru saja terjadi. Ternyata di daerah lain dekat pusat gempa, terjadi tsunami yang cukup tinggi.
Kami langsung mencoba menghubungi keluarga di Indonesia, mengabarkan bahwa kami baik-baik saja, agar keluarga tidak khawatir, apalagi saat itu di Indonesia keluarga Papa mungkin sedang ke pemakaman yangkung yang meninggal kamis malam. Saat itu saluran telepon sedang sulit dipakai, mungkin semua orang berpikir yang sama dengan kami, sehingga saluran telepon penuh. Saya coba berkali-kali menghubungi adik saya, alhamdulillah sempat tersambung satu atau dua kali.
Malam itu kami pindahkan futon ke depan TV, kami tidur disana. Kami tak berani mematikan TV, entah akibat trauma gempa atau sekedar ingin mendapatkan berita terbaru. Bahkan kami tidur dengan pakaian siap mengungsi, lengkap dengan kaos kaki dan jilbab untuk saya.
Saat itu saya belum tahu, ada satu lagi kejadian besar yang sedang berlangsung di Jepang bagian utara...
Gempa sedikit mereda, papa kembali ke dalam rumah sebentar, mengambil "tas bencana" yang telah dipersiapkannya sejak lama. Bilal saya gendong sambil duduk, mengingat kandungan yang semakin besar. Alhamdulillah, bukannya takut, Bilal malah ikut heboh, "empa, empa", katanya.
Saat gempa susulan yang masih berkekuatan besar tiba, Papa sudah bersama kami di pinggir jalan.
"Sebaiknya jangan berada di dekat bangunan," kata sang kakek
"Apa kita ke taman tempat pengungsian itu saja?" Tanya Papa.
"Tidak usah terlalu panik dulu," jawab sang kakek.
Alhamdulillah gempa susulan yang cukup besar pun berhenti. Setelah itu beberapa gempa susulan berkekuatan lebih kecil masih sering muncul, maka kami belum melepaskan kewaspadaan. Setelah mengenyangkan perut, kami berangkat ke taman yang ditunjuk sebagai tempat pengungsian sementara seandainya perlu mengungsi. Sampai disana ternyata cukup banyak orang yang mengungsi, padahal suhu diluar saat itu termasuk rendah.
Tiba-tiba, dari speaker taman, ada pengumuman bahwa pukul 16.30 JST nanti akan ada tsunami, jadi pemerintah menghimbau masyarakat agar tidak berada di dekat pantai, karena kebetulan beberapa km dari tempat itu ada sungai yang cukup besar. Kami putuskan agar menunggu hinggal pukul 16.30 lewat, baru kembali ke rumah. Sambil menunggu, Bilal bermain di taman, disertai gempa-gempa susulan yang belum juga berhenti. Suhu saat itu sangat rendah, jadi tak lama, saya mengajak Papa untuk segera pulang, apalagi hujan mulai turun.
Sampai di rumah, TV langsung kami nyalakan. Benar saja, berita di TV langsung dipenuhi topik gempa kuat yang tadi baru saja terjadi. Ternyata di daerah lain dekat pusat gempa, terjadi tsunami yang cukup tinggi.
Kami langsung mencoba menghubungi keluarga di Indonesia, mengabarkan bahwa kami baik-baik saja, agar keluarga tidak khawatir, apalagi saat itu di Indonesia keluarga Papa mungkin sedang ke pemakaman yangkung yang meninggal kamis malam. Saat itu saluran telepon sedang sulit dipakai, mungkin semua orang berpikir yang sama dengan kami, sehingga saluran telepon penuh. Saya coba berkali-kali menghubungi adik saya, alhamdulillah sempat tersambung satu atau dua kali.
Malam itu kami pindahkan futon ke depan TV, kami tidur disana. Kami tak berani mematikan TV, entah akibat trauma gempa atau sekedar ingin mendapatkan berita terbaru. Bahkan kami tidur dengan pakaian siap mengungsi, lengkap dengan kaos kaki dan jilbab untuk saya.
Saat itu saya belum tahu, ada satu lagi kejadian besar yang sedang berlangsung di Jepang bagian utara...
Categories
Japan,
Liputan lapangan
Friday, March 25, 2011
Gempa & Tsunami Jepang, 11 Maret 2011, bagian 1: The Beginning
Jumat, 11 maret 2011.
Papa ambil cuti sehari demi temani saya periksa bulanan ke dokter kandungan. Biasanya saya ke dokter sendiri berdua sama Bilal, tapi kali ini kebetulan jadwalnya screening USG, periksa detail dedek di perut saya, jadi sekalian mau ngajak Papa ngobrol sama dokternya. Screening selesai, tinggal tunggu penjelasan hasilnya dari dokter. Tapi, ketika akhirnya dipanggil lagi untuk dengar penjelasan dokter, Bilal menangis. Akhirnya, sambil menyerahkan buku Ibu-Anak, sang dokter berkata, "hasilnya bagus, nggak ada yang nggak normal, jadi bisa langsung selesai". Yep, saya langsung "diarahkan" untuk langsung pulang. Mungkin dokter kasihan kalau Bilal menangis terlalu lama, atau mungkin juga dokter kasihan dengan pasien lain ^_^;.
Pulang dari RS, saya dan Bilal temani Papa sholat di masjid Hira. Disana saya bertemu muslimah Jepang yang ternyata bisa berbahasa Indonesia. Ternyata suami si muslimah adalah orang Indonesia, dan anaknya sudah 4 ! subhanallah, sungguh besar pahala sang suami mengislamkan istrinya. Muslimah itu mengajak kami untuk berkenalan dengan suaminya, orang Kediri. Saat bertemu dengan sang suami, saya terkejut, karena sang suami ternyata orangnya sangat rendah hati, terbalik 180 derajat dari bayangan saya, cuma gara-gara mereka datang dengan mobil. Mereka juga sempat menawari tumpangan sampai tempat terdekat dari rumah kami, tapi karena kami masih ada urusan di Kantor Kelurahan, jadi kami tolak.
Mumpung libur, Papa menyelesaikan beberapa urusan di Kantor Kelurahan yang tidak bisa diselesaikan di akhir minggu (karena kantor kelurahan tutup di akhir minggu). Karena dokumen yang diperlukan tertinggal dirumah, jadi kami pulang dulu, baru nanti Papa kembali lagi.
Sampai rumah, Papa yang ingin segera menyelesaikan urusan tertunda itu, cepat-cepat mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Tanpa istirahat, bahkan tanpa makan dulu, papa segera keluar rumah, menyiapkan sepeda untuk berangkat lagi ke Kantor Kelurahan. "Assalaamu'alaykum," pamit Papa. Belum sempat mengendarai sepeda, pintu rumah dibuka dari luar, "Cinta, ada yang ketinggalan...."
Lalu tiba-tiba, kejadian bersejarah itu datang...
Awal dari rentetan kejadian yang sampai saat ini masih terus berlanjut itu dimulai.....
(bersambung ke Bagian II)
Categories
Japan,
Liputan lapangan
Subscribe to:
Posts (Atom)